BERITA  

Kritik: Sistem RFID di RSUD Ali Mudin Umar Lampung Barat Dinilai Tidak Efektif dan Memberatkan Warga

LAMPUNG BARAT | Kebijakan penggunaan sistem RFID (Radio Frequency Identification) atau palang pintu otomatis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ali Mudin Umar, Lampung Barat, menuai kritik keras dari kalangan masyarakat. Salah satunya datang dari aktivis sosial Dedi Ferdiansyah, yang dikenal luas dengan akun media sosialnya Dedy Lambar.

Melalui unggahannya di Facebook, Dedi menilai kebijakan itu tidak bijak dan justru membebani masyarakat kecil, terutama keluarga pasien yang sering keluar masuk rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien.

“Bayangkan, kalau ada keluarga pasien yang lupa membawa obat atau sandal, saat kembali ke rumah sakit mereka harus membayar lagi Rp 3.000 hanya untuk masuk. Kalau sampai lima kali bolak-balik, bisa keluar uang Rp 15.000. Belum lagi kendaraan yang menginap semalam, bisa ditarik biaya Rp 10.000 atau lebih,” tulis Dedi.

Masalah di Lapangan: Rumah Sakit atau Lahan Parkir Komersial?

Kebijakan biaya masuk Rp 3.000 per transaksi disebut-sebut sebagai bagian dari penerapan sistem RFID baru di RSUD Ali Mudin Umar. Sistem ini pada dasarnya bertujuan untuk menertibkan lalu lintas kendaraan keluar-masuk area rumah sakit, sekaligus mencatat data pengunjung secara elektronik.

Namun dalam praktiknya, sistem ini justru dianggap tidak proporsional dan menggeser fungsi utama rumah sakit sebagai fasilitas publik bidang kesehatan.
Banyak warga menilai rumah sakit kini terasa seperti pusat perbelanjaan atau tempat parkir komersial, bukan tempat pelayanan kemanusiaan.

“Rumah sakit seharusnya menjadi tempat yang menenangkan, bukan menegangkan karena takut biaya keluar masuk,” ujar salah satu keluarga pasien yang enggan disebutkan namanya kepada awak media.

Desakan untuk Mengkaji Ulang

Dedi Lambar bersama sejumlah aktivis lainnya mendesak Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, khususnya Bupati dan DPRD, untuk meninjau ulang sistem RFID tersebut.
Menurutnya, perlu ada regulasi yang memastikan kebijakan rumah sakit tidak memberatkan masyarakat, apalagi bagi warga yang berasal dari luar daerah atau pasien ekonomi menengah ke bawah.

“RSUD bukan tempat mencari keuntungan, tapi tempat pelayanan publik. Kebijakan seperti ini berpotensi menciderai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah,” tegas Dedi.

Harapan kepada Pemerintah dan Pihak RS

Publik berharap Direktur RSUD Ali Mudin Umar, Dinas Kesehatan, dan Bupati Lampung Barat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penerapan sistem RFID tersebut.
Pihak rumah sakit diharapkan dapat menyesuaikan sistem parkir dan akses masuk agar lebih manusiawi dan berorientasi pada pelayanan pasien, bukan profit semata.

Banyak pihak menilai, solusi bisa diambil tanpa mencabut sistem sepenuhnya, misalnya dengan:

  • Memberlakukan tarif nol rupiah bagi keluarga pasien rawat inap,
  • Menetapkan durasi bebas biaya untuk keluar masuk dalam waktu tertentu, atau
  • Menggunakan sistem registrasi kendaraan pasien agar tidak dikenai biaya berulang.

Catatan Redaksi:

Kritik publik seperti ini mencerminkan aspirasi masyarakat terhadap kualitas pelayanan rumah sakit daerah. Kebijakan digitalisasi seperti RFID semestinya disertai kebijakan sosial yang berpihak pada warga, terutama di sektor kesehatan publik yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar manusia.

DF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *